Rabu, 23 Februari 2011

KESULTANAN ACEH

Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh
Darussalam

1496 –1903

Bendera
Luas Kesultanan Aceh
pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda,
1608-1637.
Ibu kota
Bandar Aceh Darussalam
(sekarang Banda Aceh)
Bahasa
Aceh, Melayu, Arab
Agama
Islam
Pemerintahan
Monarki
Sultan
- 1496-1528
Ali Mughayat Syah
- 1874-1903
Muhammad Daud Syah
Sejarah
- Penobatan sultan
pertama
1496
- Aceh War
1903
Mata uang
Koin emas dan perak
lokal
Kesultanan Aceh
Darussalam berdiri
menjelang keruntuhan
dari Samudera Pasai yang
pada tahun 1360
ditaklukkan oleh
Majapahit hingga
kemundurannya di abad
ke-14. Kesultanan Aceh
terletak di utara pulau
Sumatera dengan ibu kota
Kutaraja (Banda Aceh)
dengan sultan pertamanya
adalah Sultan Ali
Mughayat Syah yang
dinobatkan pada pada
Ahad, 1 Jumadil awal 913
H atau pada tanggal 8
September 1507. Dalam
sejarahnya yang panjang
itu ( 1496 - 1903), Aceh
telah mengukir masa
lampaunya dengan begitu
megah dan menakjubkan,
terutama karena
kemampuannya dalam
mengembangkan pola dan
sistem pendidikan militer,
komitmennya dalam
menentang imperialisme
bangsa Eropa, sistem
pemerintahan yang
teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat
pengkajian ilmu
pengetahuan, hingga
kemampuannya dalam
menjalin hubungan
diplomatik dengan negara
lain.[1]
Sejarah
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan
oleh Sultan Ali Mughayat
Syah pada tahun 1496. Di
awal-awal masa
pemerintahannya wilayah
Kesultanan Aceh
berkembang hingga
mencakup Daya, Pedir,
Pasai, Deli dan Aru. Pada
tahun 1528, Ali Mughayat
Syah digantikan oleh
putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang
kemudian berkuasa
hingga tahun 1537.
Kemudian Salahuddin
digantikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah al-
Kahar
yang berkuasa hingga
tahun 1568.
Masa kejayaan
Sultan Iskandar Muda
Kesultanan Aceh
mengalami masa
keemasan pada masa
kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda (1607 -
1636). Pada masa
kepemimpinannya, Aceh
telah berhasil memukul
mundur kekuatan Portugis
dari selat Malaka.
Kejadian ini dilukiskan
dalam La Grand
Encyclopedie bahwa pada
tahun 1582, bangsa Aceh
sudah meluaskan
pengaruhnya atas pulau-
pulau Sunda (Sumatera,
Jawa dan Kalimantan)
serta atas sebagian tanah
Semenanjung Melayu.
Selain itu Aceh juga
melakukan hubungan
diplomatik dengan semua
bangsa yang melayari
Lautan Hindia. Pada tahun
1586, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan
terhadap Portugis di
Melaka dengan armada
yang terdiri dari 500 buah
kapal perang dan 60.000
tentara laut. Serangan ini
dalam upaya memperluas
dominasi Aceh atas Selat
Malaka dan semenanjung
Melayu. Walaupun Aceh
telah berhasil mengepung
Melaka dari segala
penjuru, namun
penyerangan ini gagal
dikarenakan adanya
persekongkolan antara
Portugis dengan
kesultanan Pahang.
Dalam lapangan
pembinaan kesusasteraan
dan ilmu agama, Aceh
telah melahirkan
beberapa ulama ternama,
yang karangan mereka
menjadi rujukan utama
dalam bidang masing-
masing, seperti Hamzah
Fansuri dalam bukunya
Tabyan Fi Ma'rifati al-U
Adyan, Syamsuddin al-
Sumatrani dalam bukunya
Mi'raj al-Muhakikin al-
Iman, Nuruddin Al-Raniri
dalam bukunya Sirat al-
Mustaqim, dan Syekh
Abdul Rauf Singkili dalam
bukunya Mi'raj al-Tulabb
Fi Fashil.
Kemunduran
Masjid Raya Baiturrahman,
Banda Aceh
Kemunduran Kesultanan
Aceh bermula sejak
kemangkatan Sultan
Iskandar Tsani pada tahun
1641. Kemunduran Aceh
disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya ialah
makin menguatnya
kekuasaan Belanda di
pulau Sumatera dan Selat
Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak,
Tapanuli dan Mandailing,
Deli serta Bengkulu
kedalam pangkuan
penjajahan Belanda.
Faktor penting lainnya
ialah adanya perebutan
kekuasaan diantara
pewaris tahta kesultanan.
Traktat London yang
ditandatangani pada 1824
telah memberi kekuasaan
kepada Belanda untuk
menguasai segala
kawasan British/Inggris di
Sumatra sementara
Belanda akan
menyerahkan segala
kekuasaan perdagangan
mereka di India dan juga
berjanji tidak akan
menandingi British/Inggris
untuk menguasai
Singapura.
Pada akhir November
1871, lahirlah apa yang
disebut dengan Traktat
Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas
"Inggris wajib berlepas diri
dari segala unjuk
perasaan terhadap
perluasan kekuasaan
Belanda di bagian
manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan
Traktat London 1824
mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu,
usaha-usaha untuk
menyerbu Aceh makin
santer disuarakan, baik
dari negeri Belanda
maupun Batavia. Setelah
melakukan peperangan
selama 40 tahun,
Kesultanan Aceh akhirnya
jatuh dan digabungkan
sebagai bagian dari
negara Hindia Timur
Belanda. Pada tahun 1942,
pemerintahan Hindia
Timur Belanda jatuh di
bawah kekuasan Jepang.
Pada tahun 1945, Jepang
dikalahkan Sekutu,
sehingga tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan
di ibukota Hindia Timur
Belanda (Indonesia)
segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1945, Aceh
menyatakan bersedia
bergabung ke dalam
Republik indonesia atas
ajakan dan bujukan dari
Soekarno kepada
pemimpin Aceh Tengku
Muhammad Daud
Beureueh
saat itu.
Perang Aceh
Tuanku Muhammad Daud
Syah Johan Berdaulat,
sultan Aceh yang terakhir.
Perang Aceh dimulai sejak
Belanda menyatakan
perang terhadap Aceh
pada 26 Maret 1873
setelah melakukan
beberapa ancaman
diplomatik, namun tidak
berhasil merebut wilayah
yang besar. Perang
kembali berkobar pada
tahun 1883, namun lagi-
lagi gagal, dan pada 1892
dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa
mereka telah gagal
merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje
, seorang ahli Islam dari
Universitas Leiden yang
telah berhasil
mendapatkan
kepercayaan dari banyak
pemimpin Aceh, kemudian
memberikan saran kepada
Belanda agar serangan
mereka diarahkan kepada
para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata
berhasil. Pada tahun 1898,
Joannes Benedictus van
Heutsz
dinyatakan sebagai
gubernur Aceh, dan
bersama letnannya,
Hendrikus Colijn, merebut
sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daud
akhirnya menyerahkan diri
kepada Belanda pada
tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta
ibundanya terlebih dahulu
ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya
jatuh seluruhnya pada
tahun 1904. Saat itu,
hampir seluruh Aceh telah
direbut Belanda.
Sultan Aceh
Sultan Aceh merupakan
penguasa / raja dari
Kesultanan Aceh, tidak
hanya sultan, di Aceh juga
terdapat Sultanah / Sultan
Wanita. Daftar Sultan
yang pernah berkuasa di
Aceh dapat dilihat lebih
jauh di artikel utama dari
Sultan Aceh.
Tradisi kesultanan
Makam Sultan Iskandar
Muda
Gelar
Teungku
Tuanku
Teuku
Cut
Laksamana
Panglima Sagoe
Uleebalang
Meurah
Lain-lain
Dalam
Istana Darud Donya
Cap Sikureueng (cap
sembilan)
Meuligoe
Gajah Putih
Pasukan Gajah

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda