Kamis, 24 Februari 2011

SEJARAH NUSANTARA PADA ERA KERAJAAN HINDU-BUDHA

Sejarah Nusantara pada
era kerajaan Hindu-
Buddha
Indonesia mulai
berkembang pada zaman
kerajaan Hindu-Buddha
berkat hubungan dagang
dengan negara-negara
tetangga maupun yang
lebih jauh seperti India,
China dan wilayah Timur
Tengah. Agama Hindu
masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal
Tarikh Masehi, dibawa
oleh para musafir dari
India antara lain: Maha
Resi Agastya yang di Jawa
terkenal dengan sebutan
Batara Guru atau
Dwipayana dan juga para
musafir dari Tiongkok
yakni Musafir Budha
Pahyien.
Dua kerajaan besar pada
zaman ini adalah Sriwijaya
dan Majapahit. Pada masa
abad ke-7 hingga abad
ke-14, kerajaan Buddha
Sriwijaya berkembang
pesat di Sumatra.
Penjelajah Tiongkok I-
Tsing mengunjungi
ibukotanya Palembang
sekitar tahun 670. Pada
puncak kejayaannya,
Sriwijaya menguasai
daerah sejauh Jawa Barat
dan Semenanjung Melayu.
Abad ke-14 juga menjadi
saksi bangkitnya sebuah
kerajaan Hindu di Jawa
Timur, Majapahit. Patih
Majapahit antara tahun
1331 hingga 1364, Gajah
Mada berhasil
memperoleh kekuasaan
atas wilayah yang kini
sebagian besarnya adalah
Indonesia beserta hampir
seluruh Semenanjung
Melayu. Warisan dari
masa Gajah Mada
termasuk kodifikasi
hukum dan dalam
kebudayaan Jawa, seperti
yang terlihat dalam
wiracarita Ramayana.
Masuknya Islam pada
sekitar abad ke-12 secara
perlahan-lahan menandai
akhir dari era ini.
Alur Waktu
- 300 - Indonesia telah
melakukan hubungan
dagang dengan India
Hubungan dagang ini
mulai intensif abad ke-2
M. Memperdagangkan
barang-barang dalam
pasaran internasional
misalnya: logam mulia,
perhiasan, kerajinan,
wangi-wangian, obat-
obatan. Dari sebelah
timur Indonesia
diperdagangkan kayu
cendana, kapur barus,
cengkeh. Hubungan
dagang ini memberi
pengaruh yang besar
dalam masyarakat
Indonesia, terutama
dengan masuknya ajaran
Hindu dan Budha,
pengaruh lainnya terlihat
pada sistem
pemerintahan.
- 300 - Telah dilakukannya
hubungan pelayaran niaga
yang melintasi Tiongkok.
Dibuktikan dengan
perjalanan dua pendeta
Budha yaitu Fa Shien dan
Gunavarman. Hubungan
dagang ini telah lazim
dilakukan, barang-barang
yang diperdagangkan
kemenyan, kayu cendana,
hasil kerajinan.
- 400 - Hindu dan Budha
telah berkembang di
Indonesia dilihat dari
sejarah kerajaan-kerajaan
dan peninggalan-
peninggalan pada masa
itu antara lain candi,
patung dewa, seni ukir,
barang-barang logam.
- 671 - Seorang pendeta
Budha dari Tiongkok,
bernama I-Tsing berangkat
dari Kanton ke India. Ia
singgah di Sriwijaya untuk
belajar tatabahasa
Sansekerta, kemudian ia
singgah di Melayu selama
dua bulan, dan baru
melanjutkan
perjalanannya ke India.
- 685 - I-Tsing kembali ke
Sriwijaya, disini ia tinggal
selama empat tahun
untuk menterjemahkan
kitab suci Budha dari
bahasa Sansekerta ke
dalam bahasa Tionghoa.
- 692 - Salah satu kerajaan
Hindu di Indonesia yaitu
Sriwijaya tumbuh dan
berkembang menjadi
besar dan pusat
perdagangan yang
dikunjungi pedagang
Arab, Parsi, Tiongkok.
Yang diperdagangkan
antara lain tekstil, kapur
barus, mutiara, rempah-
rempah, emas, perak.
Sebagian dari
Semenanjung Malaya,
Selat Malaka, Sumatera
Utara, Sunda, Jambi
termasuk kekuasaaan
Sriwijaya. Pada masa ini
perkembangan kerajaan
Sriwijaya berkaitan
dengan masa ekspansi
Islam di Indonesia dalam
periode permulaan.
Sriwijaya dikenal juga
sebagai kerajaan maritim.
- 922 - Dari sebuah
laporan tertulis diketahui
seorang musafir Tiongkok
telah datang kekerajaan
Kahuripan di Jawa Timur
dan maharaja Jawa telah
menghadiahkan pedang
pendek berhulu gading
berukur pada kaisar
Tiongkok.
- 1292 - Musafir Venesia,
Marco Polo singgah di
bagian utara Aceh dalam
perjalanan pulangnya dari
Tiongkok ke Persia melalui
laut. Marco Polo
berpendapat bahwa
Perlak merupakan sebuah
kota Islam.
- 1345-1346 - Musafir
Maroko, Ibn Battuta
melewati Samudra dalam
perjalanannya ke dan dari
Tiongkok. Diketahui juga
bahwa Samudra
merupakan pelabuhan
yang sangat penting,
tempat kapal-kapal
dagang dari India dan
Tiongkok. Ibn Battuta
mendapati bahwa
penguasa Samudra adalah
seorang pengikut Mahzab
Syafi'i salah satu ajaran
dalam Islam.
- 1350-1389 - Puncak
kejayaan Majapahit
dibawah pimpinan Raja
Hayam Wuruk dan
patihnya Gajah Mada.
Majapahit menguasai
seluruh kepulauan
Indonesia bahkan Jazirah
Malaka sesuai dengan
"sumpah Palapa" Gajah
Mada yang ingin
Nusantara bersatu.
Sumber gambar dari Jalan
Setapak Menuju
Nusantara Jaya
Berikut ini adalah
penjabaran dari kerajaan-
kerajaan yang pernah
menduduki wilayah
Dipantara-Nusantara.
Penjabaran kali ini masih
berhubungan dengan
artikel diatas, silahkan
dinikmati...
Kerajaan Kutai
Martadipura
Kutai Martadipura adalah
kerajaan tertua bercorak
Hindu di Nusantara dan
seluruh Asia Tenggara.
Kerajaan ini terletak di
Muara Kaman, Kalimantan
Timur, tepatnya di hulu
sungai Mahakam. Nama
Kutai diambil dari nama
tempat ditemukannya
prasasti yang
menggambarkan kerajaan
tersebut. Nama Kutai
diberikan oleh para ahli
karena tidak ada prasasti
yang secara jelas
menyebutkan nama
kerajaan ini. Karena
memang sangat sedikit
informasi yang dapat
diperoleh akibat
kurangnya sumber
sejarah.
Sejarah:
Yupa
Informasi yang ada
diperoleh dari Yupa/Tugu
dalam upacara
pengorbanan yang berasal
dari abad ke-4. Ada tujuh
buah yupa yang menjadi
sumber utama bagi para
ahli dalam
menginterpretasikan
sejarah Kerajaan Kutai.
Dari salah satu yupa
tersebut diketahui bahwa
raja yang memerintah
kerajaan Kutai saat itu
adalah Mulawarman.
Namanya dicatat dalam
yupa karena
kedermawanannya
menyedekahkan 20.000
ekor lembu kepada
brahmana.
Mulawarman
Mulawarman adalah anak
Aswawarman dan cucu
Kudungga. Nama
Mulawarman dan
Aswawarman sangat
kental dengan pengaruh
bahasa Jerman bila dilihat
dari cara penulisannya.
Kudungga adalah
pembesar dari Kerajaan
Campa (Kamboja) yang
datang ke Indonesia.
Kudungga sendiri diduga
belum menganut agama
Budha.
Aswawarman
Aswawarman mungkin
adalah raja pertama
Kerajaan Kutai yang
bercorak Hindu. Ia juga
diketahui sebagai pendiri
dinasti Kerajaan Kutai
sehingga diberi gelar
Wangsakerta, yang artinya
pembentuk keluarga.
Aswawarman memiliki 3
orang putera, dan salah
satunya adalah
Mulawarman. Putra
Aswawarman adalah
Mulawarman. Dari yupa
diketahui bahwa pada
masa pemerintahan
Mulawarman, Kerajaan
Kutai mengalami masa
keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi
hampir seluruh wilayah
Kalimantan Timur. Rakyat
Kutai hidup sejahtera dan
makmur. Kerajaan Kutai
seakan-akan tak tampak
lagi oleh dunia luar
karena kurangnya
komunikasi dengan pihak
asing, hingga sangat
sedikit yang mendengar
namanya. Bahkan, di
tahun 1365, sastra Jawa
Negarakartagama hanya
menyebutkannya secara
sepintas lalu.
Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir
saat Raja Kutai yang
bernama Maharaja
Dharma Setia tewas dalam
peperangan di tangan
Raja Kutai Kartanegara
ke-13, Aji Pangeran Anum
Panji Mendapa. Perlu
diingat bahwa Kutai ini
(Kutai Martadipura)
berbeda dengan Kerajaan
Kutai Kartanegara yang
ibukotanya pertama kali
berada di Kutai Lama
(Tanjung Kute). Kutai
Kartanegara selanjutnya
menjadi kerajaan Islam
yang disebut Kesultanan
Kutai Kartanegara.
Nama-Nama Raja Kutai:
1. Maharaja Kudungga
2. Maharaja Asmawarman
3. Maharaja Irwansyah
4. Maharaja Sri
Aswawarman
5. Maharaja Marawijaya
Warman
6. Maharaja Gajayana
Warman
7. Maharaja Tungga
Warman
8. Maharaja Jayanaga
Warman
9. Maharaja Nalasinga
Warman
10. Maharaja Nala Parana
Tungga
11. Maharaja Gadingga
Warman Dewa
12. Maharaja Indra
Warman Dewa
13. Maharaja Sangga
Warman Dewa
14. Maharaja
Singsingamangaraja XXI
15. Maharaja
Candrawarman
16. Maharaja Prabu Nefi
Suriagus
17. Maharaja Ahmad
Ridho Darmawan
18. Maharaja Riski
Subhana
19. Maharaja Sri Langka
Dewa
20. Maharaja Guna Parana
Dewa
21. Maharaja Wijaya
Warman
22. Maharaja Indra Mulya
23. Maharaja Sri Aji Dewa
24. Maharaja Mulia Putera
25. Maharaja Nala Pandita
26. Maharaja Indra Paruta
Dewa
27. Maharaja Dharma Setia
Kerajaan Kalingga
Kalingga adalah sebuah
kerajaan bercorak Hindu
di Jawa Tengah, yang
pusatnya berada di
daerah Kabupaten Jepara
sekarang. Kalingga telah
ada pada abad ke-6
Masehi dan
keberadaannya diketahui
dari sumber-sumber
Tiongkok. Kerajaan ini
pernah diperintah oleh
Ratu Shima, yang dikenal
memiliki peraturan barang
siapa yang mencuri, akan
dipotong tangannya.
Putri Maharani Shima,
PARWATI, menikah
dengan putera mahkota
Kerajaan Galuh yang
bernama MANDIMINYAK,
yang kemudian menjadi
raja ke 2 dari Kerajaan
Galuh. Maharani Shima
memiliki cucu yang
bernama SANAHA yang
menikah dengan raja ke 3
dari Kerajaan Galuh, yaitu
BRATASENAWA. Sanaha
dan Bratasenawa memiliki
anak yang bernama
SANJAYA yang kelak
menjadi raja Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh
(723-732M).
Setelah Maharani Shima
mangkat di tahun 732M,
Sanjaya menggantikan
buyutnya dan menjadi
raja Kerajaan KALINGGA
UTARA yang kemudian
disebut BUMI MATARAM,
dan kemudian mendirikan
Dinasti / Wangsa Sanjaya
di Kerajaan Mataram
Kuno. Kekuasaan di Jawa
Barat diserahkannya
kepada putranya dari
TEJAKENCANA, yaitu
TAMPERAN BARMAWIJAYA
alias RAKEYAN
PANARABAN.
Kemudian Raja Sanjaya
menikahi Sudiwara puteri
Dewasinga, Raja
KALINGGA SELATAN atau
BUMI SAMBARA, dan
memiliki putra yaitu
RAKAI PANANGKARAN.
Letak Pusat Kerajaan
Kalingga
Kerajaan Ka(e)diri
Kerajaan Kadiri atau
Kerajaan Panjalu, adalah
sebuah kerajaan yang
terdapat di Jawa Timur
antara tahun 1042-1222 M.
Kerajaan ini berpusat di
kota Daha, yang terletak
di sekitar Kota Kediri
sekarang.
Latar Belakang
Sesungguhnya kota Daha
sudah ada sebelum
Kerajaan Kadiri berdiri.
Daha merupakan
singkatan dari
Dahanapura, yang berarti
kota api. Nama ini
terdapat dalam prasasti
Pamwatan yang
dikeluarkan Airlangga
tahun 1042. Hal ini sesuai
dengan berita dalam Serat
Calon Arang bahwa, saat
akhir pemerintahan
Airlangga, pusat kerajaan
sudah tidak lagi berada di
Kahuripan, melainkan
pindah ke Daha.
Pada akhir November
1042, Airlangga terpaksa
membelah wilayah
kerajaannya karena kedua
putranya bersaing
memperebutkan takhta.
Putra yang bernama Sri
Samarawijaya
mendapatkan kerajaan
barat bernama Panjalu
yang berpusat di kota
baru, yaitu Daha.
Sedangkan putra yang
bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan
kerajaan timur bernama
Janggala yang berpusat di
kota lama, yaitu
Kahuripan.
Menurut
Nagarakretagama,
sebelum dibelah menjadi
dua, nama kerajaan yang
dipimpin Airlangga sudah
bernama Panjalu, yang
berpusat di Daha. Jadi,
Kerajaan Janggala lahir
sebagai pecahan dari
Panjalu. Adapun
Kahuripan adalah nama
kota lama yang sudah
ditinggalkan Airlangga
dan kemudian menjadi
ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama
Panjalu atau Pangjalu
memang lebih sering
dipakai dari pada nama
Kadiri. Hal ini dapat
dijumpai dalam prasasti-
prasasti yang diterbitkan
oleh raja-raja Kadiri.
Bahkan, nama Panjalu
juga dikenal sebagai Pu-
chia-lung dalam kronik
Cina berjudul Ling wai tai
ta (1178).
Perkembangan Panjalu
Masa-masa awal Kerajaan
Panjalu atau Kadiri tidak
banyak diketahui. Prasasti
Turun Hyang II (1044) yang
diterbitkan Kerajaan
Janggala hanya
memberitakan adanya
perang saudara antara
kedua kerajaan
sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu
mulai diketahui dengan
adanya prasasti Sirah
Keting tahun 1104 atas
nama Sri Jayawarsa. Raja-
raja sebelum Sri Jayawarsa
hanya Sri Samarawijaya
yang sudah diketahui,
sedangkan urutan raja-
raja sesudah Sri Jayawarsa
sudah dapat diketahui
dengan jelas berdasarkan
prasasti-prasasti yang
ditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah
pemerintahan Sri
Jayabhaya berhasil
menaklukkan Kerajaan
Janggala dengan
semboyannya yang
terkenal dalam prasasti
Ngantang (1135), yaitu
Panjalu Jayati, atau
Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan
Sri Jayabhaya inilah,
Kerajaan Panjalu
mengalami masa
kejayaannya. Wilayah
kerajaan ini meliputi
seluruh Jawa dan
beberapa pulau di
Nusantara, bahkan sampai
mengalahkan pengaruh
Kerajaan Sriwijaya di
Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik
Cina berjudul Ling wai tai
ta karya Chou Ku-fei
tahun 1178, bahwa pada
masa itu negeri paling
kaya selain Cina secara
berurutan adalah Arab,
Jawa, dan Sumatra. Saat
itu yang berkuasa di Arab
adalah Bani Abbasiyah, di
Jawa ada Kerajaan
Panjalu, sedangkan
Sumatra dikuasai Kerajaan
Sriwijaya.
Penemuan Situs
Tondowongso pada awal
tahun 2007, yang diyakini
sebagai peninggalan
Kerajaan Kadiri
diharapkan dapat
membantu memberikan
lebih banyak informasi
tentang kerajaan tersebut.
Karya Sastra Zaman Kadiri
Seni sastra mendapat
banyak perhatian pada
zaman Kerajaan Panjalu-
Kadiri. Pada tahun 1157
Kakawin Bharatayuddha
ditulis oleh Mpu Sedah
dan diselesaikan Mpu
Panuluh. Kitab ini
bersumber dari
Mahabharata yang berisi
kemenangan Pandawa
atas Korawa, sebagai
kiasan kemenangan Sri
Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh
juga menulis Kakawin
Hariwangsa dan
Ghatotkachasraya.
Terdapat pula pujangga
zaman pemerintahan Sri
Kameswara bernama Mpu
Dharmaja yang menulis
Kakawin Smaradahana.
Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya
terdapat pujangga
bernama Mpu Monaguna
yang menulis
Sumanasantaka dan Mpu
Triguna yang menulis
Kresnayana.
Runtuhnya Kadiri
Kerajaan Panjalu-Kadiri
runtuh pada masa
pemerintahan Kertajaya,
dan dikisahkan dalam
Pararaton dan
Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya
sedang berselisih melawan
kaum brahmana yang
kemudian meminta
perlindungan Ken Arok
akuwu Tumapel.
Kebetulan Ken Arok juga
bercita-cita
memerdekakan Tumapel
yang merupakan daerah
bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan
Tumapel terjadi dekat
desa Ganter. Pasukan Ken
Arok berhasil
menghancurkan pasukan
Kertajaya. Dengan
demikian berakhirlah
masa Kerajaan Kadiri,
yang sejak saat itu
kemudian menjadi
bawahan Tumapel atau
Singhasari.
Arca Buddha Vajrasattva
zaman Kadiri (abad X/XI).
Koleksi Museum für
Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.
Raja-Raja yang Pernah
Memerintah Daha
Berikut adalah nama-
nama raja yang pernah
memerintah di Daha, ibu
kota Kadiri:
1. Pada saat Daha menjadi
ibu kota kerajaan yang
masih utuh
Airlangga, merupakan
pendiri kota Daha sebagai
pindahan kota Kahuripan.
Ketika ia turun takhta
tahun 1042, wilayah
kerajaan dibelah menjadi
dua. Daha kemudian
menjadi ibu kota kerajaan
bagian barat, yaitu
Panjalu.
Menurut
Nagarakretagama,
kerajaan yang dipimpin
Airlangga tersebut
sebelum dibelah sudah
bernama Panjalu.
2. Pada saat Daha menjadi
ibu kota Panjalu
* Sri Samarawijaya,
merupakan putra
Airlangga yang namanya
ditemukan dalam prasasti
Pamwatan (1042).
* Sri Jayawarsa,
berdasarkan prasasti Sirah
Keting (1104). Tidak
diketahui dengan pasti
apakah ia adalah
pengganti langsung Sri
Samarawijaya atau bukan.
* Sri Bameswara,
berdasarkan prasasti
Padelegan I (1117),
prasasti Panumbangan
(1120), dan prasasti
Tangkilan (1130).
* Sri Jayabhaya,
merupakan raja terbesar
Panjalu, berdasarkan
prasasti Ngantang (1135),
prasasti Talan (1136), dan
Kakawin Bharatayuddha
(1157).
*Sri Sarweswara,
berdasarkan prasasti
Padelegan II (1159) dan
prasasti Kahyunan (1161).
* Sri Aryeswara,
berdasarkan prasasti
Angin (1171).
* Sri Gandra, berdasarkan
prasasti Jaring (1181).
* Sri Kameswara,
berdasarkan prasasti
Ceker (1182) dan Kakawin
Smaradahana.
* Kertajaya, berdasarkan
prasasti Galunggung
(1194), Prasasti Kamulan
(1194), prasasti Palah
(1197), prasasti Wates
Kulon (1205),
Nagarakretagama, dan
Pararaton.
3. Pada saat Daha menjadi
bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh
tahun 1222 dan menjadi
bawahan Singhasari.
Berdasarkan prasasti Mula
Malurung, diketahui raja-
raja Daha zaman
Singhasari, yaitu:
* Mahisa Wunga Teleng
putra Ken Arok
* Guningbhaya adik
Mahisa Wunga Teleng
* Tohjaya kakak
Guningbhaya
* Kertanagara cucu
Mahisa Wunga Teleng
(dari pihak ibu), yang
kemudian menjadi raja
Singhasari
4. Pada saat Daha menjadi
ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah
keturunan Kertajaya yang
menjadi bupati Gelang-
Gelang. Tahun 1292 ia
memberontak hingga
menyebabkan runtuhnya
Kerajaan Singhasari.
Jayakatwang kemudian
membangun kembali
Kerajaan Kadiri. Tapi pada
tahun 1293 ia dikalahkan
Raden Wijaya pendiri
Majapahit.
5. Pada saat Daha menjadi
bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha
menjadi negeri bawahan
Majapahit yang paling
utama. Raja yang
memimpin bergelar Bhre
Daha tapi hanya bersifat
simbol, karena
pemerintahan harian
dilaksanakan oleh patih
Daha. Para pemimpin
Daha zaman Majapahit
antara lain:
* Jayanagara, tahun
1295-1309, didampingi
Patih Lembu Sora.
* Rajadewi, tahun
1309-1370-an, didampingi
Patih Arya Tilam,
kemudian Gajah Mada.
Setelah itu, nama-nama
pejabat Bhre Daha tidak
diketahui dengan pasti.
6. Pada saat Daha menjadi
ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental
tulisan Tome Pires, pada
tahun 1513 Daha menjadi
ibu kota Majapahit yang
dipimpin oleh Bhatara
Wijaya. Nama raja ini
identik dengan Dyah
Ranawijaya yang
dikalahkan oleh Sultan
Trenggana raja Demak
tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri
lebih terkenal dari pada
Daha.
Kerajaan Singhasari
Kerajaan Singhasari atau
sering pula ditulis
Singasari, adalah sebuah
kerajaan di Jawa Timur
yang didirikan oleh Ken
Arok pada tahun 1222.
Lokasi kerajaan ini
sekarang diperkirakan
berada di daerah
Singosari, Malang.
Nama Ibu Kota
Berdasarkan prasasti
Kudadu, nama resmi
Kerajaan Singhasari yang
sesungguhnya ialah
Kerajaan Tumapel.
Menurut
Nagarakretagama, ketika
pertama kali didirikan
tahun 1222, ibu kota
Kerajaan Tumapel
bernama Kutaraja.
Pada tahun 1254, Raja
Wisnuwardhana
mengangkat putranya
yang bernama
Kertanagara sebagai
yuwaraja dan mengganti
nama ibu kota menjadi
Singhasari. Nama
Singhasari yang
merupakan nama ibu kota
kemudian justru lebih
terkenal daripada nama
Tumapel. Maka, Kerajaan
Tumapel pun terkenal
pula dengan nama
Kerajaan Singhasari.
Nama Tumapel juga
muncul dalam kronik Cina
dari Dinasti Yuan dengan
ejaan Tu-ma-pan.
Awal Berdirinya
Menurut Pararaton,
Tumapel semula hanya
sebuah daerah bawahan
Kerajaan Kadiri. Yang
menjabat sebagai akuwu
(setara camat) Tumapel
saat itu adalah Tunggul
Ametung. Ia mati dibunuh
secara licik oleh
pengawalnya sendiri yang
bernama Ken Arok, yang
kemudian menjadi akuwu
baru. Tidak hanya itu, Ken
Arok bahkan berniat
melepaskan Tumapel dari
kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222 terjadi
perseteruan antara
Kertajaya raja Kadiri
melawan kaum brahmana.
Para brahmana lalu
menggabungkan diri
dengan Ken Arok yang
mengangkat dirinya
menjadi raja pertama
Tumapel bergelar Sri
Rajasa Sang
Amurwabhumi. Perang
melawan Kadiri meletus di
desa Ganter yang
dimenangkan oleh pihak
Tumapel.
Nagarakretagama juga
menyebut tahun yang
sama untuk pendirian
Kerajaan Tumapel, namun
tidak menyebutkan
adanya nama Ken Arok.
Dalam naskah itu, pendiri
kerajaan Tumapel
bernama Ranggah Rajasa
Sang Girinathaputra yang
berhasil mengalahkan
Kertajaya raja Kadiri.
Prasasti Mula Malurung
atas nama Kertanagara
tahun 1255, menyebutkan
kalau pendiri Kerajaan
Tumapel adalah Bhatara
Siwa. Mungkin nama ini
adalah gelar anumerta
dari Ranggah Rajasa,
karena dalam
Nagarakretagama arwah
pendiri kerajaan Tumapel
tersebut dipuja sebagai
Siwa. Selain itu, Pararaton
juga menyebutkan bahwa,
sebelum maju perang
melawan Kadiri, Ken Arok
lebih dulu menggunakan
julukan Bhatara Siwa.
Raja-Raja Tumapel
Terdapat perbedaan
antara Pararaton dan
Nagarakretagama dalam
menyebutkan urutan raja-
raja Singhasari.
Raja-raja Tumapel versi
Pararaton adalah:
1. Ken Arok alias Rajasa
Sang Amurwabhumi (1222
- 1247)
2. Anusapati (1247 - 1249)
3. Tohjaya (1249 - 1250)
4. Ranggawuni alias
Wisnuwardhana (1250 -
1272)
5. Kertanagara (1272 -
1292)
Raja-raja Tumapel versi
Nagarakretagama adalah:
1. Rangga Rajasa Sang
Girinathaputra (1222 -
1227)
2. Anusapati (1227 - 1248)
3. Wisnuwardhana (1248 -
1254)
4. Kertanagara (1254 -
1292)
Kisah suksesi raja-raja
Tumapel versi Pararaton
diwarnai pertumpahan
darah yang dilatari balas
dendam. Ken Arok mati
dibunuh Anusapati (anak
tirinya). Anusapati mati
dibunuh Tohjaya (anak
Ken Arok dari selir).
Tohjaya mati akibat
pemberontakan
Ranggawuni (anak
Anusapati). Hanya
Ranggawuni yang
digantikan Kertanagara
(putranya) secara damai.
Sementara itu versi
Nagarakretagama tidak
menyebutkan adanya
pembunuhan antara raja
pengganti terhadap raja
sebelumnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena
Nagarakretagama adalah
kitab pujian untuk Hayam
Wuruk raja Majapahit.
Peristiwa berdarah yang
menimpa leluhur Hayam
Wuruk tersebut dianggap
sebagai aib.
Di antara para raja di atas
hanya Wisnuwardhana
dan Kertanagara saja yang
didapati menerbitkan
prasasti sebagai bukti
kesejarahan mereka.
Dalam Prasasti Mula
Malurung (yang
dikeluarkan Kertanagara
atas perintah
Wisnuwardhana) ternyata
menyebut Tohjaya sebagai
raja Kadiri, bukan raja
Tumapel. Hal ini
memperkuat kebenaran
berita dalam
Nagarakretagama.
Prasasti tersebut
dikeluarkan oleh
Kertanagara tahun 1255
selaku raja bawahan di
Kadiri. Jadi, pemberitaan
kalau Kertanagara naik
takhta tahun 1254 perlu
dibetulkan. Yang benar
adalah, Kertanagara
menjadi raja muda di
Kadiri dahulu. Baru pada
tahun 1268, ia bertakhta
di Singhasari.
Tafsir Baru Sejarah
Tumapel
Dengan ditemukannya
prasasti Mula Malurung
maka sejarah Tumapel
versi Pararaton perlu
untuk direvisi.
Kerajaan Tumapel
didirikan oleh Rajasa alias
Bhatara Siwa setelah
menaklukkan Kadiri.
Sepeninggalnya, kerajaan
terpecah menjadi dua,
Tumapel dipimpin
Anusapati sedangkan
Kadiri dipimpin Bhatara
Parameswara (alias
Mahisa Wonga Teleng).
Parameswara digantikan
oleh Guningbhaya,
kemudian Tohjaya.
Sementara itu, Anusapati
digantikan oleh
Seminingrat yang bergelar
Wisnuwardhana.
Prasasti Mula Malurung
menyebutkan bahwa
sepeninggal Tohjaya,
Kerajaan Tumapel dan
Kadiri dipersatukan
kembali oleh Seminingrat.
Kadiri kemudian menjadi
kerajaan bawahan yang
dipimpin oleh putranya,
yaitu Kertanagara.
Pemerintahan Bersama
Pararaton dan
Nagarakretagama
menyebutkan adanya
pemerintahan bersama
antara Wisnuwardhana
dan Narasingamurti.
Dalam Pararaton
disebutkan nama asli
Narasingamurti adalah
Mahisa Campaka.
Apabila kisah kudeta
berdarah dalam Pararaton
benar-benar terjadi, maka
dapat dipahami maksud
dari pemerintahan
bersama ini adalah suatu
upaya rekonsiliasi antara
kedua kelompok yang
bersaing. Wisnuwardhana
merupakan cucu Tunggul
Ametung sedangkan
Narasingamurti adalah
cucu Ken Arok.
Puncak Kejayaan
Kertanagara adalah raja
terakhir dan raja terbesar
dalam sejarah Singhasari
(1268 - 1292). Ia adalah
raja pertama yang
mengalihkan wawasannya
ke luar Jawa. Pada tahun
1275 ia mengirim pasukan
Ekspedisi Pamalayu untuk
menjadikan pulau
Sumatra sebagai benteng
pertahanan dalam
menghadapi ekspansi
bangsa Mongol. Saat itu
penguasa pulau Sumatra
adalah Kerajaan
Dharmasraya (kelanjutan
dari Kerajaan Malayu).
Kerajaan ini akhirnya
tunduk dengan
ditemukannya bukti arca
Amoghapasa yang dikirim
Kertanagara sebagai
tanda persahabatan
kedua negara.
Pada tahun 1284,
Kertanagara juga
mengadakan ekspedisi
menaklukkan Bali. Pada
tahun 1289 Kaisar Kubilai
Khan mengirim utusan ke
Singhasari meminta agar
Jawa mengakui
kedaulatan Mongol.
Namun permintaan itu
ditolak tegas oleh
Kertanagara.
Nagarakretagama
menyebutkan daerah-
daerah bawahan
Singhasari di luar Jawa
pada masa Kertanagara
antara lain, Melayu, Bali,
Pahang, Gurun, dan
Bakulapura.
Mandala Amoghapāśa dari
masa Singhasari (abad ke-
XIII), perunggu, 22.5 x 14
cm.
Koleksi Museum für
Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.
Peristiwa Keruntuhan
Kerajaan Singhasari yang
sibuk mengirimkan
angkatan perangnya ke
luar Jawa akhirnya
mengalami keropos di
bagian dalam. Pada tahun
1292 terjadi
pemberontakan
Jayakatwang bupati
Gelang-Gelang, yang
merupakan sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus
besan dari Kertanagara
sendiri. Dalam serangan
itu Kertanagara mati
terbunuh.
Setelah runtuhnya
Singhasari, Jayakatwang
menjadi raja dan
membangun ibu kota baru
di Kadiri. Riwayat
Kerajaan Tumapel-
Singhasari pun berakhir.
Hubungan dengan
Majapahit
Pararaton,
Nagarakretagama, dan
prasasti Kudadu
mengisahkan Raden
Wijaya cucu
Narasingamurti yang
menjadi menantu
Kertanagara lolos dari
maut. Berkat bantuan Aria
Wiraraja (penentang
politik Kertanagara), ia
kemudian diampuni oleh
Jayakatwang dan diberi
hak mendirikan desa
Majapahit.
Pada tahun 1293 datang
pasukan Mongol dipimpin
Ike Mese untuk
menaklukkan Jawa.
Mereka dimanfaatkan
Raden Wijaya untuk
mengalahkan Jayakatwang
di Kadiri. Setelah Kadiri
runtuh, Raden Wijaya
dengan siasat cerdik ganti
mengusir tentara Mongol
keluar dari tanah Jawa.
Raden Wijaya kemudian
mendirikan Kerajaan
Majapahit sebagai
kelanjutan Singhasari, dan
menyatakan dirinya
sebagai anggota Wangsa
Rajasa, yaitu dinasti yang
didirikan oleh Ken Arok.
Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah suatu
kerajaan yang pernah
berdiri dari sekitar tahun
1293 hingga 1500 M dan
berpusat di pulau Jawa
bagian timur. Kerajaan ini
pernah menguasai
sebagian besar pulau
Jawa, Madura, Bali, dan
banyak wilayah lain di
Nusantara. Majapahit
dapat dikatakan sebagai
kerajaan terbesar di
antara kerajaan Hindu-
Buddha di Nusantara dan
termasuk yang terakhir
sebelum berkembang
kerajaan-kerajaan
bercorak Islam di
Nusantara.
Lokasi ibu kota Majapahit
di bagian timur Jawa.
Sejarah Berdirinya
Majapahit
Sesudah Singhasari
mengusir Sriwijaya dari
Jawa secara keseluruhan
pada tahun 1290,
kekuasaan Singhasari yang
naik menjadi perhatian
Kubilai Khan di China dan
dia mengirim duta yang
menuntut upeti.
Kertanagara penguasa
kerajaan Singhasari
menolak untuk membayar
upeti dan Khan
memberangkatkan
ekspedisi menghukum
yang tiba di pantai Jawa
tahun 1293. Ketika itu,
seorang pemberontak dari
Kediri bernama
Jayakatwang sudah
membunuh Kertanagara.
Kertarajasa atau Raden
Wijaya, yaitu anak
menantu Kertanegara,
kemudian bersekutu
dengan orang Mongol
untuk melawan
Jayakatwang. Setelah
Jayakatwang dikalahkan,
Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu
Mongolnya sehingga
memaksa mereka menarik
pulang kembali
pasukannya secara
kalang-kabut.
Pada tahun 1293 itu pula
Raden Wijaya membangun
daerah kekuasaannya di
tanah perdikan daerah
Tarik, Sidoarjo, dengan
pusatnya yang diberi
nama Majapahit. Ia
dinobatkan dengan nama
resmi Kertarajasa
Jayawardhana.
Arca Harihara, dewa
gabungan Siwa dan Wisnu
sebagai penggambaran
Kertarajasa.
Berlokasi semula di Candi
Simping - Blitar.
Koleksi Museum Nasional
Republik Indonesia.
Kejayaan Majapahit
Penguasa Majapahit
paling utama ialah Hayam
Wuruk, yang memerintah
dari tahun 1350 hingga
1389. Pada masanya,
keraton Majapahit
diperkirakan telah
dipindahkan ke Trowulan
(sekarang masuk wilayah
Mojokerto).
Gajah Mada, seorang
patih dan bupati
Majapahit dari 1331 ke
1364, memperluas
kekuasaan kekaisaran ke
pulau sekitarnya. Pada
tahun 1377, yaitu
beberapa tahun sesudah
kematian Gajah Mada,
angkatan laut Majapahit
menduduki Palembang,
menaklukkan daerah
terakhir kerajaan
Sriwijaya.
Menurut Kakawin
Nagarakretagama pupuh
XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi hampir
seluas wilayah Indonesia
modern, termasuk daerah-
daerah Sumatra di bagian
barat dan di bagian timur
Maluku serta sebagian
Papua (Wanin), dan
beberapa negara Asia
Tenggara. Namun
demikian, batasan alam
dan ekonomi
menunjukkan bahwa
daerah-daerah kekuasaan
tersebut tampaknya
tidaklah berada di bawah
kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi
terhubungkan satu sama
lain oleh perdagangan
yang mungkin berupa
monopoli oleh raja.
Majapahit juga memiliki
hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan
Vietnam, dan bahkan
mengirim duta-dutanya ke
China.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai
puncaknya pada abad
ke-14, kekuasaan
Majapahit berangsur-
angsur melemah.
Tampaknya terjadi perang
saudara (Perang Paregreg)
pada tahun 1405-1406,
antara Wirabhumi
melawan
Wikramawardhana.
Demikian pula telah
terjadi pergantian raja
yang dipertengkarkan
pada tahun 1450-an, dan
pemberontakan besar
yang dilancarkan oleh
seorang bangsawan pada
tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada
sebuah kronogram atau
candrasengkala yang
berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala
ini konon adalah tahun
berakhirnya Majapahit
dan harus dibaca sebagai
0041, yaitu tahun 1400
Saka, atau 1478 Masehi.
Arti sengkala ini adalah
"sirna hilanglah
kemakmuran bumi".
Namun demikian, yang
sebenarnya digambarkan
oleh candrasengkala
tersebut adalah gugurnya
Bre Kertabumi, raja ke-11
Majapahit, oleh
Girindrawardhana.
Ketika Majapahit
didirikan, pedagang
Muslim dan para penyebar
agama sudah mulai
memasuki nusantara.
Pada akhir abad ke-14 dan
awal abad ke-15,
pengaruh Majapahit di
seluruh nusantara mulai
berkurang. Pada saat
bersamaan, sebuah
kerajaan perdagangan
baru yang berdasarkan
agama Islam, yaitu
Kesultanan Malaka, mulai
muncul di bagian barat
nusantara.
Catatan sejarah dari
China, Portugis, dan Italia
mengindikasikan bahwa
telah terjadi perpindahan
kekuasaan Majapahit dari
tangan penguasa Hindu
ke tangan Adipati Unus,
penguasa dari Kesultanan
Demak, antara tahun 1518
dan 1521 M.
Arca pertapa Hindu dari
masa Majapahit akhir.
Koleksi Museum für
Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman
Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar
penguasa Majapahit.
Perhatikan bahwa
terdapat periode
kekosongan antara
pemerintahan
Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan
Girishawardhana yang
mungkin diakibatkan oleh
krisis suksesi yang
memecahkan keluarga
kerajaan Majapahit
menjadi dua kelompok.
1. Raden Wijaya, bergelar
Kertarajasa Jayawardhana
(1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri
Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar
Tribhuwana
Wijayatunggadewi (1328 -
1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar
Sri Rajasanagara (1350 -
1389)
5. Wikramawardhana (1389
- 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar
Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana,
bergelar Brawijaya II (1451
- 1453)
9. Purwawisesa atau
Girishawardhana, bergelar
Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau
Suraprabhawa, bergelar
Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar
Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana,
bergelar Brawijaya VI
(1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar
Brawijaya VII (1498-1518)
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran adalah
sebuah kerajaan Hindu
yang diperkirakan
beribukotanya di Pakuan
(Bogor) di Jawa Barat.
Dalam naskah-naskah
kuno nusantara, kerajaan
ini sering pula disebut
dengan nama Negeri
Sunda, Pasundan, atau
berdasarkan nama
ibukotanya yaitu Pakuan
Pajajaran. Beberapa
catatan menyebutkan
bahwa kerajaan ini
didirikan tahun 923 oleh
Sri Jayabhupati, seperti
yang disebutkan dalam
prasasti Sanghyang Tapak.
Sejarah
Sejarah kerajaan ini tidak
dapat terlepas dari
kerajaan-kerajaan
pendahulunya di daerah
Jawa Barat, yaitu Kerajaan
Tarumanagara, Kerajaan
Sunda dan Kerajaan
Galuh, dan Kawali. Hal ini
karena pemerintahan
Kerajaan Pajajaran
merupakan kelanjutan
dari kerajaan-kerajaan
tersebut. Dari catatan-
catatan sejarah yang ada,
dapatlah ditelusuri jejak
kerajaan ini; antara lain
mengenai ibukota
Pajajaran yaitu Pakuan.
Mengenai raja-raja
Kerajaan Pajajaran,
terdapat perbedaan
urutan antara naskah-
naskah Babad Pajajaran,
Carita Parahiangan, dan
Carita Waruga Guru.
Prasasti Batu Tulis
peninggalan Kerajaan
Hindu Pajajaran, ditulis
saat pemerintahan Prabu
Surawisesa untuk
memperingati wafatnya
Prabu Jaya Dewata Sang
Silih Wangi.
Selain naskah-naskah
babad, Kerajaan Pajajaran
juga meninggalkan
sejumlah jejak
peninggalan dari masa
lalu, seperti:
* Prasasti Batu Tulis,
Bogor
* Prasasti Sanghyang
Tapak, Sukabumi
* Prasasti Kawali, Ciamis
* Tugu Perjanjian Portugis
(padraõ), Kampung Tugu,
Jakarta
* Taman perburuan, yang
sekarang menjadi Kebun
Raya Bogor.
Daftar Raja Pajajaran
1. Sri Baduga Maharaja
(1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 –
1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1567 –
1579)
Keruntuhan
Kerajaan Pajajaran runtuh
pada tahun 1579 akibat
serangan kerajaan Sunda
lainnya, yaitu Kesultanan
Banten. Berakhirnya
jaman Pajajaran ditandai
dengan diboyongnya
Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana
raja), dari Pakuan ke
Surasowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran
200x160x20 cm itu
diboyong ke Banten
karena tradisi politik agar
di Pakuan tidak mungkin
lagi dinobatkan raja baru,
dan menandakan Maulana
Yusuf adalah penerus
kekuasaan Pajajaran yang
sah karena buyut
perempuannya adalah
puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka
Sriman Sriwacana tersebut
saat ini bisa ditemukan di
depan bekas Keraton
Surasowan di Banten.
Orang Banten
menyebutnya Watu
Gigilang, berarti
mengkilap atau berseri,
sama artinya dengan kata
Sriman.
Saat itu diperkirakan
terdapat sejumlah
punggawa istana yang
meninggalkan kraton lalu
menetap di daerah Lebak.
Mereka menerapkan tata
cara kehidupan lama yang
ketat, dan sekarang
mereka dikenal sebagai
orang Baduy.
Kerajaan Medang -
Mataram Kuno
Kerajaan Medang adalah
nama sebuah kerajaan
yang berdiri di Jawa
Tengah pada abad ke-8,
kemudian pindah ke Jawa
Timur pada abad ke-10,
dan akhirnya runtuh pada
awal abad ke-11.
Pada umumnya, istilah
Kerajaan Medang hanya
lazim dipakai untuk
menyebut periode Jawa
Timur saja, padahal
berdasarkan prasasti-
prasasti yang ditemukan,
nama Medang sudah
dikenal sejak periode
sebelumnya, yaitu periode
Jawa Tengah.
Sementara itu untuk
menyebut periode Jawa
Tengah, nama yang lazim
dipakai adalah Kerajaan
Mataram, yaitu merujuk
kepada salah satu daerah
pusat pemerintahan
kerajaan ini. Kadang
untuk membedakannya
dengan Kerajaan Mataram
Islam yang berdiri pada
abad ke-16, Kerajaan
Medang periode Jawa
Tengah biasa pula disebut
dengan nama Kerajaan
Mataram Kuno atau
Mataram Hindu.
Pusat Kerajaan Medang
Bhumi Mataram adalah
sebutan lama untuk
Yogyakarta dan
sekitarnya. Di daerah
inilah untuk pertama
kalinya istana Kerajaan
Medang diperkirakan
berdiri (Rajya Medang i
Bhumi Mataram). Nama
ini ditemukan dalam
beberapa prasasti,
misalnya prasasti Minto
dan prasasti Anjukladang.
Istilah Mataram kemudian
lazim dipakai untuk
menyebut nama kerajaan
secara keseluruhan,
meskipun tidak selamanya
kerajaan ini berpusat di
sana.
Sesungguhnya, pusat
Kerajaan Medang pernah
mengalami beberapa kali
perpindahan, bahkan
sampai ke daerah Jawa
Timur sekarang. Beberapa
daerah yang pernah
menjadi lokasi istana
Medang berdasarkan
prasasti-prasasti yang
sudah ditemukan antara
lain:
Medang i Bhumi Mataram
(zaman Sanjaya)
Medang i Mamrati (zaman
Rakai Pikatan)
Medang i Poh Pitu (zaman
Dyah Balitung)
Medang i Bhumi Mataram
(zaman Dyah Wawa)
Medang i Tamwlang
(zaman Mpu Sindok)
Medang i Watugaluh
(zaman Mpu Sindok)
Medang i Watan (zaman
Dharmawangsa Teguh)
Awal Berdirinya Kerajaan
Prasasti Mantyasih (907)
atas nama Dyah Balitung
menyebutkan dengan
jelas bahwa raja pertama
Kerajaan Medang
(Rahyang ta rumuhun ri
Medang ri Poh Pitu)
adalah Rakai Mataram
Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri
mengeluarkan prasasti
Canggal tahun 732, namun
tidak menyebut dengan
jelas apa nama
kerajaannya. Ia hanya
memberitakan adanya raja
lain yang memerintah
pulau Jawa sebelum
dirinya, bernama Sanna.
Sepeninggal Sanna, negara
menjadi kacau. Sanjaya
kemudian tampil menjadi
raja, atas dukungan
Sannaha, saudara
perempuan Sanna.
Nama Sanna tidak
terdapat dalam daftar
para raja versi prasasti
Mantyasih. Mungkin ia
memang bukan raja
Medang. Kiranya
pengalaman Sanjaya mirip
dengan Raden Wijaya
(pendiri Kerajaan
Majapahit akhir abad
ke-13) yang mengaku
sebagai penerus takhta
Kertanagara raja
Singhasari, namun
memerintah kerajaan baru
dan berbeda.
Kisah hidup Sanjaya
secara panjang lebar
terdapat dalam Cerita
Parahyangan yang baru
ditulis ratusan tahun
setelah kematiannya
(sekitar abad ke-16).
Dinasti yang Berkuasa
Pada umumnya para
sejarawan sepakat bahwa
ada tiga dinasti yang
pernah berkuasa di
Kerajaan Medang, yaitu
Wangsa Sanjaya dan
Wangsa Sailendra pada
periode Jawa Tengah,
serta Wangsa Isana pada
periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa Sanjaya
merujuk pada nama
Sanjaya, raja pertama
Medang. Dinasti ini
menganut agama Hindu
aliran Siwa. Menurut teori
van Naerssen, pada masa
pemerintahan Rakai
Panangkaran (pengganti
Sanjaya sekitar tahun 770-
an), kekuasaan Kerajaan
Medang direbut oleh
Wangsa Sailendra yang
beragama Buddha aliran
Mahayana.
Mulai saat itu Wangsa
Sailendra berkuasa di
pulau Jawa, bahkan
berhasil pula menguasai
Kerajaan Sriwijaya di
pulau Sumatra. Sampai
akhirnya, sekitar tahun
840-an, seorang anggota
Wangsa Sanjaya bernama
Rakai Pikatan berhasil
menikahi
Pramodawardhani putri
mahkota Wangsa
Sailendra. Berkat
perkawinan itu ia bisa
menjadi raja Medang, dan
memindahkan istananya
ke Mamrati. Peristiwa
tersebut dianggap sebagai
awal kebangkitan kembali
Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch,
nama raja-raja Medang
dalam prasasti Mantyasih
dianggap sebagai anggota
Wangsa Sanjaya secara
keseluruhan. Pendapat ini
ditolak oleh Slamet
Muljana. Ia berpendapat
belum tentu semua raja-
raja dalam daftar tersebut
adalah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan
Slamet Muljana adalah
Rakai Panangkaran yang
diyakininya bukan putra
Sanjaya. Alasannya ialah,
prasasti Kalasan (778)
memuji Rakai
Panangkaran sebagai
"permata wangsa
Sailendra" (Sailendrawangsatilaka)
. Hal ini membuktikan
bahwa, teori van Naerssen
tentang kekalahan Rakai
Panangkaran oleh Wangsa
Sailendra adalah keliru.
Menurut teori Slamet
Muljana, raja-raja Medang
versi prasasti Mantyasih
mulai dari Rakai
Panangkaran sampai
dengan Rakai Garung
adalah anggota Wangsa
Sailendra. Sedangkan
kebangkitan Wangsa
Sanjaya baru dimulai sejak
Rakai Pikatan naik takhta
menggantikan Rakai
Garung.
Istilah Rakai pada zaman
ini identik dengan Bhre
pada zaman Majapahit,
yang bermakna "penguasa
di". Jadi, gelar Rakai
Panangkaran sama artinya
dengan "Penguasa di
Panangkaran". Nama
aslinya ditemukan dalam
prasasti Kalasan, yaitu
Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian
mengidentifikasi Rakai
Panunggalan sampai Rakai
Garung dengan nama-
nama raja Wangsa
Sailendra yang telah
diketahui, misalnya
Dharanindra ataupun
Samaratungga, yang
selama ini cenderung
dianggap bukan bagian
dari daftar para raja versi
prasasti Mantyasih.
Sementara itu, dinasti
ketiga yang berkuasa di
Medang adalah Wangsa
Isana yang baru muncul
pada periode Jawa Timur.
Dinasti ini didirikan oleh
Mpu Sindok yang
membangun istana baru
di Tamwlang sekitar tahun
929. Dalam prasasti-
prasastinya, Mpu Sindok
menyebut dengan tegas
bahwa kerajaannya adalah
kelanjutan dari Kadatwan
Medang i Bhumi Mataram.
Daftar Raja-raja Medang
Apabila teori Slamet
Muljana benar, maka
daftar raja-raja Medang
sejak masih berpusat di
Bhumi Mataram sampai
berakhir di Watan dapat
disusun secara lengkap
sebagai berikut:
Sanjaya, pendiri Kerajaan
Medang
Rakai Panangkaran, awal
berkuasanya Wangsa
Sailendra
Rakai Panunggalan alias
Dharanindra
Rakai Warak alias
Samaragrawira
Rakai Garung alias
Samaratungga
Rakai Pikatan suami
Pramodawardhani, awal
kebangkitan Wangsa
Sanjaya
Rakai Kayuwangi alias
Dyah Lokapala
Rakai Watuhumalang
Rakai Watukura Dyah
Balitung
Mpu Daksa
Rakai Layang Dyah
Tulodong
Rakai Sumba Dyah Wawa
Mpu Sindok, awal periode
Jawa Timur
Sri Lokapala suami Sri
Isanatunggawijaya
Makuthawangsawardhana
Dharmawangsa Teguh,
Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya
Sanjaya yang memakai
gelar Sang Ratu,
sedangkan raja-raja
sesudahnya semua
memakai gelar Sri
Maharaja.
Struktur Pemerintahan
Raja merupakan
pemimpin tertinggi
Kerajaan Medang. Sanjaya
sebagai raja pertama
memakai gelar Ratu. Pada
zaman itu istilah Ratu
belum identik dengan
kaum perempuan. Gelar
ini setara dengan Datu
yang berarti "pemimpin".
Keduanya merupakan
gelar Indonesia asli.
Ketika Rakai Panangkaran
dari Wangsa Sailendra
berkuasa, gelar Ratu
dihapusnya dan diganti
dengan gelar Sri Maharaja.
Kasus yang sama terjadi
pada Kerajaan Sriwijaya di
mana raja-rajanya semula
bergelar Dapunta Hyang,
dan setelah dikuasai
Wangsa Sailendra juga
berubah menjadi Sri
Maharaja.
Pemakaian gelar Sri
Maharaja di Kerajaan
Medang tetap dilestarikan
oleh Rakai Pikatan
meskipun Wangsa Sanjaya
berkuasa kembali. Hal ini
dapat dilihat dalam daftar
raja-raja versi prasasti
Mantyasih, di mana hanya
Sanjaya yang bergelar
Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah
raja ialah Rakryan
Mahamantri i Hino atau
kadang ditulis Rakryan
Mapatih Hino. Jabatan ini
dipegang oleh putra atau
saudara raja yang
memiliki peluang untuk
naik takhta selanjutnya.
Misalnya, Mpu Sindok
merupakan Mapatih Hino
pada masa pemerintahan
Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih
Hino pada zaman ini
berbeda dengan Rakryan
Mapatih pada zaman
Majapahit. Patih zaman
Majapahit setara dengan
perdana menteri namun
tidak berhak untuk naik
takhta.
Jabatan sesudah
Mahamantri i Hino secara
berturut-turut adalah
Mahamantri i Halu dan
Mahamantri i Sirikan.
Pada zaman Majapahit
jabatan-jabatan ini masih
ada namun hanya sekadar
gelar kehormatan saja.
Pada zaman Wangsa Isana
berkuasa masih ditambah
lagi dengan jabatan
Mahamantri Wka dan
Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di
Medang selanjutnya ialah
Rakryan Kanuruhan
sebagai pelaksana
perintah raja. Mungkin
semacam perdana menteri
pada zaman sekarang
atau setara dengan
Rakryan Mapatih pada
zaman Majapahit. Jabatan
Rakryan Kanuruhan pada
zaman Majapahit memang
masih ada, namun kiranya
setara dengan menteri
dalam negeri pada zaman
sekarang.
Keadaan Penduduk
Penduduk Medang sejak
periode Bhumi Mataram
sampai periode Watan
pada umumnya bekerja
sebagai petani. Kerajaan
Medang memang terkenal
sebagai negara agraris,
sedangkan saingannya,
yaitu Kerajaan Sriwijaya
merupakan negara
maritim.
Agama resmi Kerajaan
Medang pada masa
pemerintahan Sanjaya
adalah Hindu aliran Siwa.
Ketika Sailendrawangsa
berkuasa, agama resmi
kerajaan berganti menjadi
Buddha aliran Mahayana.
Kemudian pada saat Rakai
Pikatan dari
Sanjayawangsa berkuasa,
agama Hindu dan Buddha
tetap hidup
berdampingan dengan
penuh toleransi.
Konflik Tahta Periode
Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan
Rakai Kayuwangi putra
Rakai Pikatan (sekitar 856
– 880-an), ditemukan
beberapa prasasti atas
nama raja-raja lain, yaitu
Maharaja Rakai
Gurunwangi dan Maharaja
Rakai Limus Dyah
Dewendra. Hal ini
menunjukkan kalau pada
saat itu Rakai Kayuwangi
bukanlah satu-satunya
maharaja di Pulau Jawa.
Sementara itu menurut
prasasti Mantyasih,
pengganti Rakai
Kayuwangi adalah Rakai
Watuhumalang.
Kemudian muncul tokoh
bernama Dyah Balitung
yang berhasil menguasai
seluruh Jawa, bahkan
sampai Bali. Dari prasasti
Mantyasih dapat diketahui
kalau ia naik takhta
berkat menikahi putri raja
sebelumnya (entah Rakai
Kayuwangi atau Rakai
Watuhumalang). Saat
pemerintahannya istana
Kerajaan Medang sudah
dipindahkan ke Poh Pitu.
Pemerintahan Dyah
Balitung diperkirakan
berakhir karena terjadinya
kudeta oleh Mpu Daksa
yang mengaku sebagai
keturunan asli Sanjaya. Ia
sendiri kemudian
digantikan oleh
menantunya, bernama
Dyah Tulodong. Tidak
diketahui dengan pasti
apakah proses suksesi ini
berjalan damai ataukah
melalui kudeta pula.
Dyah Tulodong akhirnya
tersingkir oleh
pemberontakan Dyah
Wawa yang merupakan
putra seorang pelaku
kriminal zaman
pemerintahan Rakai
Kayuwangi. Istana Medang
diperkirakan kembali
berada di Bhumi Mataram.
Menurut dugaan
mayoritas sejarawan,
istana tersebut akhirnya
hancur akibat letusan
Gunung Merapi sebagai
hukuman Tuhan atas
perebutan takhta di
antara para bangsawan
Medang.
Mpu Sindok yang
menjabat sebagai Rakryan
Mapatih Hino memimpin
rombongan yang selamat
pindah ke timur sekitar
tahun 929. Ia mendirikan
istana baru di daerah
Tamwlang (sekarang
Tembelang, Jombang, Jawa
Timur). Dinasti yang
berkuasa di Medang
bukan lagi Sanjayawangsa,
melainkan sebuah
keluarga baru bernama
Isanawangsa, yang
merujuk pada gelar
abhiseka Mpu Sindok
yaitu Sri Isana
Wikramadharmottungga.
Permusuhan dengan
Sriwijaya
Selain menguasai Medang,
Wangsa Sailendra juga
menguasai Kerajaan
Sriwijaya di pulau
Sumatra. Hal ini ditandai
dengan ditemukannya
Prasasti Ligor (775) yang
menyebut nama Maharaja
Wisnu dari Wangsa
Sailendra sebagai
penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara
Jawa dan Sumatra
berubah menjadi
permusuhan ketika
Wangsa Sanjaya bangkit
kembali memerintah
Medang. Sekitar tahun
850-an, Rakai Pikatan
berhasil menyingkirkan
seorang anggota Wangsa
Sailendra bernama
Balaputradewa putra
Samaragrawira.
Balaputradewa kemudian
menjadi raja Sriwijaya di
mana ia tetap menyimpan
dendam terhadap Rakai
Pikatan. Perselisihan
antara kedua raja ini
berkembang menjadi
permusuhan turun-
temurun pada generasi
selanjutnya. Selain itu,
Kerajaan Medang dan
Sriwijaya juga bersaing
untuk menguasai lalu
lintas perdagangan di Asia
Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa
Sailendra terhadap Jawa
terus berlanjut bahkan
ketika Wangsa Isana
berkuasa. Sewaktu Mpu
Sindok memulai periode
Jawa Timur, pasukan
Sriwijaya datang
menyerangnya.
Pertempuran terjadi di
daerah Anjukladang
(sekarang Nganjuk, Jawa
Timur) yang dimenangkan
oleh pihak Mpu Sindok.
Peristiwa Mahapralaya
Kerajaan Medang runtuh
tahun 1006 pada masa
pemerintahan
Dharmawangsa Teguh
(cicit Mpu Sindok).
Peristiwa hancurnya istana
Watan terkenal dengan
sebutan Mahapralaya atau
"kematian besar".
Kronik Cina dari Dinasti
Sung mencatat telah
beberapa kali
Dharmawangsa Teguh
mengirim pasukan untuk
menggempur ibu kota
Sriwijaya sejak ia naik
takhta tahun 991.
Permusuhan antara Jawa
dan Sumatra semakin
memanas saat itu.
Pada tahun 1006
Dharmawangsa Teguh
lengah. Ketika ia
mengadakan pesta
perkawinan putrinya,
istana Medang di Watan
diserbu oleh Aji Wurawari
dari Lwaram yang
diperkirakan sebagai
sekutu Kerajaan Sriwijaya.
Dalam peristiwa tersebut,
Dharmawangsa Teguh
tewas.
Tiga tahun kemudian,
seorang pangeran
berdarah campuran Jawa -
Bali yang lolos dari
Mahapralaya tampil untuk
membangun kerajaan
baru sebagai kelanjutan
Kerajaan Medang.
Pangeran itu bernama
Airlangga yang mengaku
bahwa ibunya adalah
keturunan Mpu Sindok.
Kerajaan yang ia dirikan
kemudian lazim disebut
dengan nama Kerajaan
Kahuripan.
Peninggalan Sejarah
Selain meninggalkan bukti
sejarah berupa prasasti-
prasasti yang tersebar di
Jawa Tengah dan Jawa
Timur, Kerajaan Medang
juga membangun banyak
candi, baik itu yang
bercorak Hindu maupun
Buddha.
Candi-candi peninggalan
Kerajaan Medang antara
lain, Candi Kalasan, Candi
Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu,
Candi Mendut, Candi
Pawon, dan tentu saja
yang paling kolosal adalah
Candi Borobudur. Candi
megah yang dibangun
oleh Sailendrawangsa ini
telah ditetapkan UNESCO
(PBB) sebagai salah satu
warisan budaya dunia.
Kerajaan Dharmasraya -
Melayu Jambi
Kerajaan Dharmasraya
atau Kerajaan Melayu
Jambi adalah kerajaan
yang terletak di Sumatra,
berdiri sekitar abad ke-11
Masehi. Lokasinya terletak
di selatan Sawahlunto,
Sumatera Barat sekarang,
dan di utara Jambi.
Hanya ada sedikit catatan
sejarah mengenai
Dharmasraya ini.
Diantaranya yang cukup
terkenal adalah rajanya
yang bernama Shri
Tribhuana Raja
Mauliwarmadhewa
(1270-1297) yang menikah
dengan Puti Reno Mandi.
Sang raja dan permaisuri
memiliki dua putri, yaitu
Dara Jingga dan Dara
Petak.
Setelah Kerajaan Sriwijaya
musnah di tahun 1025
karena serangan Kerajaan
Chola dari India, banyak
bangsawan Sriwijaya yang
melarikan diri ke
pedalaman, terutama ke
hulu sungai Batang Hari.
Mereka kemudian
bergabung dengan
Kerajaan Melayu Tua yang
sudah lebih dulu ada di
daerah tersebut, dan
sebelumnya merupakan
daerah taklukan Kerajaan
Sriwijaya. Pada tahun
1088, Kerajaan Melayu
Jambi menaklukan
Sriwijaya. Situasi jadi
berbalik di mana daerah
taklukannya adalah
Kerajaan Sriwijaya.
Dara Jingga
Di tahun 1288, Kerajaan
Dharmasraya, termasuk
Kerajaan Sriwijaya,
menjadi taklukan
Kerajaan Singhasari di era
Raja Kertanegara, dengan
mengirimkan Adwaya
Brahman dan Senopati
Mahesa Anabrang, dalam
ekspedisi Pamalayu 1 dan
2. Sebagai tanda
persahabatan, Dara Jingga
menikah dengan Adwaya
Brahman dari Kerajaan
Singasari tersebut. Mereka
memiliki putra yang
bernama Adityawarman,
yang di kemudian hari
mendirikan Kerajaan
Pagaruyung, dan sekaligus
menjadi penerus
kakeknya,
Mauliwarmadhewa
sebagai penguasa
Kerajaan Dharmasraya
berikut jajahannya,
termasuk eks Kerajaan
Sriwijaya di Palembang.
Anak dari Adityawarman,
yaitu Ananggawarman,
menjadi penguasa
Palembang di kemudian
hari. Sedangkan Dara
Jingga dikenal sebagai
Bundo Kandung/Bundo
Kanduang oleh
masyarakat Minangkabau.
Dara Petak
Di tahun 1293, Mahesa
Anabrang beserta Dara
Jingga dan anaknya,
Adityawarman, kembali ke
Pulau Jawa. Dara Petak
ikut dalam rombongan
tersebut. Setelah tiba di
Pulau Jawa ternyata
Kerajaan Singasari telah
musnah, dan sebagai
penerusnya adalah
Kerajaan Majapahit. Oleh
karena itu Dara Petak
dipersembahkan kepada
Raden Wijaya, yang
kemudian memberikan
keturunan Raden
Kalagemet yang bergelar
Sri Jayanegara setelah
menjadi Raja Majapahit
kedua.
Kerajaan Sunda
Karajaan Sunda (669-1579
M), menurut naskah
Wangsakerta, merupakan
kerajaan yang berdiri
menggantikan kerajaan
Tarumanagara. Kerajaan
Sunda didirikan oleh
Tarusbawa pada tahun 591
Caka Sunda (669 M).
Menurut sumber sejarah
primer yang berasal dari
abad ke-16, kerajaan ini
merupakan suatu kerajaan
yang meliputi wilayah
yang sekarang menjadi
Provinsi Banten, Jakarta,
Provinsi Jawa Barat dan
bagian barat Provinsi Jawa
Tengah. Berdasarkan
naskah kuno primer
Bujangga Manik (yang
menceriterakan
perjalanan Prabu
Bujangga Manik, seorang
pendeta Hindu Sunda
yang mengunjungi
tempat-tempat suci
agama Hindu di pulau
Jawa dan Bali pada awal
abad ke-16), yang saat ini
disimpan pada
Perpustakaan Boedlian
Oxford University Inggris
sejak tahun 1627, batas
kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah sungai
Cipamali (yang saat ini
sering disebut sebagai kali
Brebes) dan sungai
Ciserayu (yang saat ini
disebut Kali Serayu) di
Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam
catatan perjalanannya,
Summa Oriental (1513 –
1515), menyebutkan batas
wilayah kerajaan Sunda di
sebelah timur sebagai
berikut:
Sementara orang
menegaskan bahwa
kerajaan Sunda meliputi
setengah pulau Jawa.
Sebagian orang lainnya
berkata bahwa kerajaan
Sunda mencakup
sepertiga pulau Jawa
ditambah
seperdelapannya lagi.
Katanya, keliling pulau
Sunda tiga ratus legoa.
Ujungnya adalah Cimanuk.
Sedangkan menurut
naskah Wangsakerta,
wilayah kerajaan Sunda
mencakup juga daerah
yang saat ini menjadi
Provinsi Lampung melalui
pernikahan antar keluarga
kerajaan Sunda dan
Lampung. Lampung
dipisahkan dari bagian
lain kerajaan Sunda oleh
Selat Sunda.
Hubungan Kerajaan Sunda
dengan Eropa
Kerajaan Sunda sudah
lama menjalin hubungan
dagang dengan bangsa
Eropa saperti Inggris,
Perancis dan Portugis.
Kerajaan Sunda malah
pernah menjalin
hubungan politik dengan
bangsa Portugis. Dalam
tahun 1522, kerajaan
Sunda menandatangani
perjanjian Sunda-Portugis
dimana dalam perjanjian
tersebut Portugis
dibolehkan membangun
benteng dan gudang di
pelabuhan Sunda. Sebagai
imbalannya, Portugis
diharuskan memberi
bantuan militer kepada
kerajaan Sunda dalam
menghadapi serangan dari
Demak dan Cirebon yang
memisahkan diri dari
kerajaan Sunda.
Sejarah
Sebelum berdiri sebagai
kerajaan yang mandiri,
Sunda merupakan
bawahan Tarumanagara.
Raja Tarumanagara yang
terakhir, Sri Maharaja
Linggawarman
Atmahariwangsa
Panunggalan Tirthabumi
(memerintah hanya
selama tiga tahun, 666-669
M), menikah dengan Déwi
Ganggasari dari
Indraprahasta. Dari
Ganggasari, beliau
memiliki dua anak, yang
keduanya perempuan.
Déwi Manasih, putri
sulungnya, menikah
dengan Tarusbawa dari
Sunda, sedangkan yang
kedua, Sobakancana,
menikah dengan
Dapuntahyang Sri
Janayasa, yang selanjutnya
mendirikan kerajaan
Sriwijaya.
Setelah Linggawarman
meninggal, kekuasaan
Tarumanagara turun
kepada menantunya,
Tarusbawa. Hal ini
menyebabkan penguasa
Galuh, Wretikandayun
(612-702) memberontak,
melepaskan diri dari
Tarumanagara, serta
mendirikan Galuh yang
mandiri. dari pihak
Tarumanagara sendiri,
Tarusbawa juga
menginginkan
melanjutkan kerajaan
Tarumanagara. Tarusbawa
selanjutnya memindahkan
kekuasaannya ke Sunda,
sedangkan Tarumanagara
diubah menjadi
bawahannya. Beliau
dinobatkan sebagai raja
Sunda pada hari Radite
Pon, 9 Suklapaksa, bulan
Yista, tahun 519 Saka
(kira-kira 18 Mei 669 M).
Sunda dan Galuh ini
berbatasan, dengan batas
kerajaanya yaitu sungai
Citarum (Sunda di sebelah
barat, Galuh di sebelah
timur).
Kerajaan Kembar
Putera Tarusbawa yang
terbesar, Rarkyan
Sundasambawa, wafat
saat masih muda,
meninggalkan seorang
anak perempuan, Nay
Sekarkancana. Cucu
Tarusbawa ini lantas
dinikahi oleh Rahyang
Sanjaya dari Galuh,
sampai mempunyai
seorang putera, Rahyang
Tamperan. Saat
Tarusbawa meninggal
(tahun 723), kekuasaan
Sunda jatuh ke Sanjaya,
yang di tahun itu juga
berhasil merebut
kekuasaan Galuh dari
Rahyang Purbasora (yang
merebut kekuasaan Galuh
dari ayahnya,
Bratasenawa/Rahyang
Séna). Oleh karena itu, di
tangan Sanjaya, Sunda
dan Galuh bersatu
kembali. Untuk
meneruskan kekuasaan
ayahnya yang menikah
dengan puteri raja Keling
(Kalingga), tahun 732
Sanjaya menyerahkan
kekuasaan Sunda-Galuh
ke puteranya, Tamperan.
Di Keling, Sanjaya
memegang kekuasaan
selama 22 tahun (732-754),
yang kemudian diganti
oleh puteranya dari Déwi
Sudiwara, Rarkyan
Panangkaran.
Rahyang Tamperan
berkuasa di Sunda-Galuh
selama tujuh tahun
(732-739), lalu membagi
kekuasaan pada dua
puteranya: Sang Manarah
(dalam carita rakyat
disebut Ciung Wanara) di
Galuh serta Sang Banga
(Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu
Kertabhuwana
Yasawiguna Hajimulya)
menjadi raja selama 27
tahun (739-766), tapi
hanya menguasai Sunda
dari tahun 759.
Dari Déwi Kancanasari,
keturunan Demunawan
dari Saunggalah, Sang
Banga mempunyai putera,
bernama Rarkyan Medang,
yang kemudian
meneruskan kekuasaanya
di Sunda selama 17 tahun
(766-783) dengan gelar
Prabhu Hulukujang.
Karena anaknya
perempuan, Rakryan
Medang mewariskan
kekuasaanya kepada
menantunya, Rakryan
Hujungkulon atau Prabhu
Gilingwesi (dari Galuh,
putera Sang Mansiri), yang
menguasai Sunda selama
12 tahun (783-795). Karena
Rakryan Hujungkulon
inipun hanya mempunyai
anak perempuan, maka
kekuasaan Sunda lantas
jatuh ke menantunya,
Rakryan Diwus (dengan
gelar Prabu Pucukbhumi
Dharmeswara) yang
berkuasa selama 24 tahun
(795-819). Dari Rakryan
Diwus, kekuasaan Sunda
jatuh ke puteranya,
Rakryan Wuwus, yang
menikah dengan putera
dari Sang Welengan (raja
Galuh, 806-813).
Kekuasaan Galuh juga
jatuh kepadanya saat
saudara iparnya, Sang
Prabhu Linggabhumi
(813-842), meninggal
dunia. Kekuasaan Sunda-
Galuh dipegang oleh
Rakryan Wuwus (dengan
gelar Prabhu Gajahkulon)
sampai ia wafat tahun
891.
Sepeninggal Rakryan
Wuwus, kekuasaan Sunda-
Galuh jatuh ke adik
iparnya dari Galuh, Arya
Kadatwan. Hanya saja,
karena tidak disukai oleh
para pembesar dari
Sunda, ia dibunuh tahun
895, sedangkan
kekuasaannya diturunkan
ke putranya, Rakryan
Windusakti. Kekuasaan ini
lantas diturunkan pada
putera sulungnya, Rakryan
Kamuninggading (913).
Rakryan Kamuninggading
menguasai Sunda-Galuh
hanya tiga tahun, sebab
kemudian direbut oleh
adikna, Rakryan Jayagiri
(916). Rakryan Jayagiri
berkuasa selama 28 tahun,
kemudian diwariskan
kepada menantunya,
Rakryan Watuagung,
tahun 942. Melanjutkan
dendam orangtuanya,
Rakryan Watuagung
direbut kekuasaannya
oleh keponakannya
(putera Kamuninggading),
Sang Limburkancana
(954-964). Dari
Limburkancana,
kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan oleh putera
sulungnya, Rakryan
Sundasambawa (964-973).
Karena tidak mempunyai
putera dari
Sundasambawa,
kekuasaan tersebut jatuh
ke adik iparnya, Rakryan
Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri
mewariskan kekuasaannya
ka puteranya, Rakryan
Gendang (989-1012),
dilanjutkan oleh cucunya,
Prabhu Déwasanghyang
(1012-1019). Dari
Déwasanghyang,
kekuasaan diwariskan
kepada puteranya, lalu ke
cucunya yang membuat
prasasti Cibadak, Sri
Jayabhupati (1030-1042).
Sri Jayabhupati adalah
menantu dari
Dharmawangsa Teguh dari
Jawa, mertua raja Erlangga
(1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati,
kekuasaan diwariskan
kepada putranya,
Dharmaraja (1042-1064),
lalu ke cucu menantunya,
Prabhu Langlangbhumi
((1064-1154). Prabu
Langlangbhumi
dilanjutkan oleh putranya,
Rakryan Jayagiri
(1154-1156), lantas oleh
cucunya, Prabhu
Dharmakusuma
(1156-1175). Dari Prabu
Dharmakusuma,
kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada
putranya, Prabhu Guru
Dharmasiksa, yang
memerintah selama 122
tahun (1175-1297).
Dharmasiksa memimpin
Sunda-Galuh dari
Saunggalah selama 12
tahun, tapi kemudian
memindahkan pusat
pemerintahan kepada
Pakuan Pajajaran, kembali
lagi ke tempat awal
moyangnya (Tarusbawa)
memimpin kerajaan
Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa,
kekuasaan Sunda-Galuh
turun ke putranya yang
terbesar, Rakryan
Saunggalah (Prabhu
Ragasuci), yang berkuasa
selama enam tahun
(1297-1303). Prabhu
Ragasuci kemudian
diganti oleh putranya,
Prabhu Citraganda, yang
berkuasa selama delapan
tahun(1303-1311),
kemudian oleh
keturunannya lagi, Prabu
Linggadéwata (1311-1333).
Karena hanya mempunyai
anak perempuan,
Linggadéwata
menurunkan
kekuasaannya ke
menantunya, Prabu
Ajiguna Linggawisésa
(1333-1340), kemudian ke
Prabu Ragamulya
Luhurprabawa (1340-1350).
Dari Prabu Ragamulya,
kekuasaan diwariskan ke
putranya, Prabu Maharaja
Linggabuanawisésa
(1350-1357), yang di ujung
kekuasaannya gugur di
Bubat (baca Perang
Bubat). Karena saat
kejadian di Bubat,
putranya --
Niskalawastukancana --
masih kecil, kekuasaan
Sunda sementara
dipegang oleh Patih
Mangkubumi Sang Prabu
Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu
Bunisora, kekuasaan
kembali lagi ke putra
Linggabuana,
Niskalawastukancana,
yang kemudian memimpin
selama 104 tahun
(1371-1475). Dari isteri
pertama, Nay Ratna
Sarkati, ia mempunyai
putera Sang Haliwungan
(Prabu Susuktunggal),
yang diberi kekuasaan
bawahan di daerah
sebelah barat Citarum
(daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang
berkuasa dari Pakuan
Pajajaran, membangun
pusat pemerintahan ini
dengan mendirikan
keraton Sri Bima Punta
Narayana Madura
Suradipati.
Pemerintahannya
terbilang lama (1382-1482),
sebab sudah dimulai saat
ayahnya masih berkuasa
di daerah timur.
Dari Nay Ratna
Mayangsari, istrinya yang
kedua, ia mempunyai
putera Ningratkancana
(Prabu Déwaniskala), yang
meneruskan kekuasaan
ayahnya di daerah Galuh
(1475-1482).
Susuktunggal dan
Ningratkancana
menyatukan ahli warisnya
dengan menikahkan
Jayadéwata (putra
Ningratkancana) dengan
Ambetkasih (putra
Susuktunggal). Tahun
1482, kekuasaan Sunda
dan Galuh disatukan lagi
oleh Jayadéwata (yang
bergelar Sri Baduga
Maharaja). Sapeninggal
Jayadéwata, kekuasaan
Sunda-Galuh turun ke
putranya, Prabu
Surawisésa (1521-1535),
kemudian Prabu
Déwatabuanawisésa
(1535-1543), Prabu Sakti
(1543-1551), Prabu
Nilakéndra (1551-1567),
serta Prabu Ragamulya
atau Prabu Suryakancana
(1567-1579). Prabu
Suryakancana ini
merupakan pemimpin
kerajaan Sunda-Galuh
yang terakhir, sebab
setelah beberapa kali
diserang oleh pasukan
dari Kesultanan Banten, di
tahun 1579 kekuasaannya
runtuh.
Raja-raja Kerajaan Sunda
Di bawah ini deretan raja-
raja yang pernah
memimpin Kerajaan
Sunda menurut naskah
Pangéran Wangsakerta
(waktu berkuasa dalam
tahun Masehi):
1.Tarusbawa (minantu
Linggawarman, 669 - 723)
2.Harisdarma, atawa
Sanjaya (menantu
Tarusbawa, 723 - 732)
3.Tamperan Barmawijaya
(732 - 739)
4.Rakeyan Banga (739 -
766)
5.Rakeyan Medang Prabu
Hulukujang (766 - 783)
6.Prabu Gilingwesi
(menantu Rakeyan
Medang Prabu
Hulukujang, 783 - 795)
7.Pucukbumi Darmeswara
(menantu Prabu
Gilingwesi, 795 - 819)
8.Rakeyan Wuwus Prabu
Gajah Kulon (819 - 891)
9.Prabu Darmaraksa (adik
ipar Rakeyan Wuwus, 891 -
895)
10.Windusakti Prabu
Déwageng (895 - 913)
11.Rakeyan Kamuning
Gading Prabu Pucukwesi
(913 - 916)
12.Rakeyan Jayagiri
(menantu Rakeyan
Kamuning Gading, 916 -
942)
13.Atmayadarma
Hariwangsa (942 - 954)
14.Limbur Kancana
(putera Rakeyan
Kamuning Gading, 954 -
964)
15.Munding Ganawirya
(964 - 973)
16.Rakeyan Wulung
Gadung (973 - 989)
17.Brajawisésa (989 - 1012)
18.Déwa Sanghyang (1012 -
1019)
19.Sanghyang Ageng (1019
- 1030)
20.Sri Jayabupati (Detya
Maharaja, 1030 - 1042)
21.Darmaraja (Sang
Mokténg Winduraja, 1042 -
1065)
22.Langlangbumi (Sang
Mokténg Kerta, 1065 -
1155)
23.Rakeyan Jayagiri Prabu
Ménakluhur (1155 - 1157)
24.Darmakusuma (Sang
Mokténg Winduraja, 1157 -
1175)
25.Darmasiksa Prabu
Sanghyang Wisnu (1175 -
1297)
26.Ragasuci (Sang
Mokténg Taman, 1297 -
1303)
27.Citraganda (Sang
Mokténg Tanjung, 1303 -
1311)
28.Prabu Linggadéwata
(1311-1333)
29.Prabu Ajiguna
Linggawisésa (1333-1340)
30.Prabu Ragamulya
Luhurprabawa (1340-1350)
31.Prabu Maharaja
Linggabuanawisésa (yang
gugur dalam Perang
Bubat, 1350-1357)
32.Prabu Bunisora
(1357-1371)
33.Prabu
Niskalawastukancana
(1371-1475)
34.Prabu Susuktunggal
(1475-1482)
35.Jayadéwata (Sri Baduga
Maharaja, 1482-1521)
36.Prabu Surawisésa
(1521-1535)
37.Prabu
Déwatabuanawisésa
(1535-1543)
38.Prabu Sakti (1543-1551)
39.Prabu Nilakéndra
(1551-1567)
40.Prabu Ragamulya atau
Prabu Suryakancana
(1567-1579)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda